Selasa, 06 September 2022

Mencuri Raden Saleh Unggul di Character Development Meskipun Banyak Kekurangan dalam Penempatan Karakter

Mencuri Raden Saleh menjadi film genre heist Indonesia yang menuaskan meskipun banyak kekurangan dalam hal penempatan karakter. (Poster: Visinema Pictures)


Setelah sekian lama, Indonesia akhirnya kembali memiliki film bergenre action heist drama berjudul Mencuri Raden Saleh. Sebelumnya, ada film genre heist pertama berjudul The Professionals.

Saya menilai character development dan emosinya sudah oke dengan twist yang bolehlah meskipun agak "loh kok?!". Tapi saya suka penempatan scene present dan flashback yang dicampur aduk kayak gini, memberikan kesegaran dalam menonton untuk merasakan twist-nya.

Ada satu adegan komedi di pertengahan film yang pecah banget dan sukses bikin saya dan penonton di bioskop saya ngakak dan tepuk tangan meskipun bisa dibilang plotnya cenderung konyol namun tetap menyegarkan.

Tapi sayangnya di sisi lain, setelah adegan itu saya menganggap plot selanjutnya malah jadi kosong meskipun action dan adegan krisisnya sudah oke dengan bad dan happy twist ending yang bikin penonton lega.

Satu hal yang membuat saya kurang nyaman selama menonton film ini, saya selalu bermasalah dengan artikulasi Iqbaal Ramadhan di setiap film-film dia. Termasuk di beberapa adegan emosionalnya bersama Angga Yunanda.

Lalu saya melihat peran Ari Irham yang disebut para sineas sebagai kakinya geng ini malah kurang menonjol dan justru menjadi penyebab krisis. Perannya sebagai driver malah kerap dicolong Iqbaal. Karakter Iqbaal pun kurang terlihat aura leader-nya dan kerap dicolong Angga Yunanda.

Begitu juga untuk pemicu adegan laga krisis yang dimainkan Aghniny Haque, saya merasa kurang sreg meskipun watak karakternya sudah oke.

Kejanggalan juga saya rasakan dengan nasib karakter yang diperankan Umay Shahab, yang seharusnya ikut menjadi penyebab krisis malah dibuat aman.

Selain itu, karakter yang dimainkan Angga Yunanda juga kurang digali meskipun aktingnya ditampilkan dengan sangat emosional.

Justru yang membuat saya terpikat adalah karakter milik Rachel Amanda, yang menurut saya sama sekali tak memiliki cacat dan selalu ditempatkan dengan pas.

Sebagai penikmat film yang kritis, saya memilih untuk memberi skor Mencuri Raden Saleh dengan angka 6.5 dari 10, yang menurut saya sudah pas. Dikasih 7 pun sudah terlalu wow buat saya.

Di tengah langkanya film action heist di Indonesia, bolehlah Mencuri Raden Saleh menjadi motivasi baru agar para sineas Indonesia terpicu untuk membuat alur cerita dan skenario yang lebih cerdas lagi dalam genre apapun tanpa harus dibayang-bayangi Hollywood.

Oh iya, satu lagi yang bikin saya bangga Indonesia punya film ini adalah endingnya yang bikin para penonton di bioskop saya tepuk tangan. Salut buat sang sutradara, mas Angga Dwimas Sasongko!


Rabu, 09 Maret 2022

Robert Battinson di The Batman Apik Biarpun Adegan Bencana Kurang Masuk

The Batman (Warner Bros)

Robert Battinson apik! Susah untuk membandingkan Robert Pattinson di The Batman dengan peran Bruce Wayne/Batman-nya Christian Bale, Ben Affleck (Batfleck), Michael Keaton, dsb. Soalnya, dia punya ciri khasnya: Bruce Wayne yang introvert dan penyendiri.

Masa lalu Bruce Wayne yang dibongkar lewat narasi dan permasalahan kota Gotham yang mungkin banyak terjadi di sejumlah kota berbagai negara termasuk di Indonesia, menjadi bumbu yang sedap. Pasalnya, itu semua terkait dengan permasalahan utama dalam cerita film ini yang disebabkan oleh The Riddler.

Tapi sayangnya, nilai 9 yang ada di dalam kepala ini sampai pertengahan film, merosot akibat adanya bencana buatan sebagai adegan klimaks yang terlalu dipaksakan untuk mengetuk hati penonton.

Ditambah lagi dengan endingnya yang memberi kesan "udah, gitu aja?"

Namun begitu angka 8,1 / 10 sepertinya masih layak, sih. Mengingat, atmosfer teror yang diberikan Matt Reeves sang sutradara bisa disajikan dengan sangat baik. Konsep ini juya diperlihatkan secara baik oleh Matt dalam dua film The Planet of the Apes terbaru.

Sayangnya lagi, ini bukan film yang bisa dinikmati semua orang. Bagi yang suka film-film laga superhero bertempo cepat dan bombastis seperti Marvel atau film-film DCEU, dan tidak betah saat menonton The Batman, boleh saja memberi film ini nilai 7, 6, 5, atau 2 bahkan 0 sekalipun, terserah!

Jelas ini adalah repetisi perpaduan Batman Begins, The Dark Knight dan The Dark Knight Rises yang cukup baik dalam hal penyajiannya.

Jumat, 31 Desember 2021

Kingdom, Serial Korea yang di Luar Dugaan Bisa Saya Suka


Kingdom yang mengudara di Netflix telah sukses membuat saya terkejut kagum.

Awalnya ketika saya menonton episode 1 agak malas untuk melanjutkannya karena takut serial ini terlalu berat ceritanya seperti Game of Thrones yang dicampur dengan bumbu horor. 

Bahkan saya sempat beranggapan orang-orang yang suka dengan serial ini adalah mereka yang sekadar hype dengan konsep zombienya. 

Sempat juga mengira kritik positif yang muncul hanyalah berasal dari para pengamat yang nge-fans drama Korea semata


Pada pertengahan November 2021 lalu, saya langsung ngebut menamatkan serial ini. Di luar dugaan, ternyata serial ini benar-benar memberikan sensasi luar biasa bagi saya pribadi.

Awalnya mirip Game of Thrones tapi ceritanya dibuat intens bak film-film The Lord of the Rings. Bahkan menurut saya, penggambaran ketegangan pada adegan zombienya nyaris unggul di atas serial The Walking Dead.

Dimasukkannya unsur budaya Korea di tengah politik ala Game of Thrones pun membuat serial ini lebih punya rasa tanpa harus dibuat bertele-tele.

Adegan aksinya juga dibuat sebaik mungkin tanpa terlihat culun dan kaku. Well, once again Korean is surprising me after The Host, Oldboy, Train to Busan, Parasite and Squid Game.

Sampai tulisan ini dibuat, saya sedang menunggu season 3 dan baru terpukau dengan episode spesial Ashin of the North.

Jumat, 17 Desember 2021

Spider-Man, Salah Satu Hal Penting dalam Hidupku

 

Sumber: marvel.com

Sejak pertama muncul hingga hari ini, Spider-Man telah menjadi salah satu karakter superhero paling populer. Bahkan dulu saya kenal dia sejak umur 3 atau 4 tahun sewaktu dibawakan komiknya oleh bapak saya. Anak saya juga sudah kenal Spider-Man di umur 3 tahun.

Salah satu karakter pahlawan super yang saya suka gambar waktu kecil selain Kamen Rider Black adalah Spider-Man.

Saya tergila-gila dengan Spider-Man ketika televisi menayangkan serial animasinya di era pertengahan 1990-an. Salah satu tayangan yang saya wajibkan untuk ditonton sepulang sekolah. Ketika salah satu sahabat saya di SD mengajak main ke luar, saya malah ajak dia ke rumah dahulu untuk nonton serial animasi Spider-Man.

Bahkan gara-gara serial animasi tersebut, sewaktu jalan-jalan ke mal, saya minta bapak saya beliin action figure Spider-Man dan para penjahatnya: Green Goblin, Doctor Octopus, Venom, Rhino. Tapi yang masih saya punya cuma Venom dan Goblin karena sisanya diberikan oleh ibu saya ke anak-anak yang kurang mampu.

Bahkan game Playstation Spider-Man adalah salah satu koleksi favorit saya sewaktu masih jadi gamer di masa SMP.

Spider-Man (2002) adalah film superhero pertama yang saya tonton di bioskop bersama salah satu sahabat semasa SMA.

Jujur sempat kecewa waktu film Spider-Man didaur ulang menjadi The Amazing Spider-Man (2012) karena ada elemen dan "nyawa" Peter Parker yang hilang dari yang saya kenal selama ini. Ditambah, film ini tak masuk ke dalam dunia Marvel Cinematic Universe yang sebelumnya sudah bikin fans "pecah" berkat film The Avengers (2012).

Sewaktu saya menonton film Captain America: Civil War bersama sahabat yang juga pernah menjadi rekan kerja, saya senang banget lihat Spider-Man muncul di film ini.

Perkembangan Spider-Man di komik, layar lebar dan layar kaca selalu menjadi salah satu pembahasan paling menarik bagi para penggemarnya di seluruh dunia.

Marvel Studios yang membawa karakter komik Marvel, berhasil mewujudkan impian fans dengan interaksinya bersama tim Avengers dan Guardians of the Galaxy dalam film Captain America: Civil War, Avengers: Infinity War, dan Avengers: Endgame.

Saking kultusnya karakter ini, di film The Amazing Spider-Man (2012), sutradaranya memiliki nama yang artinya jaring (laba-laba), Marc Webb.

Bahkan di film terbaru, aktornya memiliki nama tengah yang mirip dengan pengarang Spider-Man, Stan Lee, yakni Thomas Stanley Holland. Bahkan sutradaranya memiliki nama belakang yang nyaris menyerupai nama Mary Jane Watson, Jon Watts.

Sejak saya kecil sampai sekarang pun hal-hal tentang Spider-Man tak berubah. Wajahnya dan logonya selalu menghiasi beberapa tempat. Di Indonesia, bahkan ada patung raksasa Spider-Man di salah satu toko di Cihampelas Bandung.

Terima kasih Spider-Man telah mewarnai hidupku. Terima kasih Stan Lee dan Steve Ditko sudah mengkreasi Spider-Man. Terima kasih para sineas dan aktor Spider-Man: No Way Home yang udah bikin aku nostalgia teringat hal-hal di atas sebagai kenangan yang indah sepanjang hidupku di alam fana ini...

Credit to my unforgettable people:

Almarhum bapak saya: Hermantarso Singodiwiryo

Sahabat SD saya: Andri Yulian

Sahabat SMA saya: Wisnu Gustaman

Sahabat dan mantan rekan kerja: Feby Ferdian


Jumat, 18 September 2020

Star Wars: The Rise of Skywalker Enggak Jelek Kok, Cuma Ada yang Kurang

Nonton Star Wars: The Rise of Skywalker bukanlah pilihan utama saya pada Desember 2019 lalu. Melihat skor yang kurang bagus dari kalangan kritikus, membuat saya melewatkan penayangannya di bioskop.

Padahal Star Wars: The Rise of Skywalker adalah film yang paling saya nantikan setelah perilisan film sebelumnya The Last Jedi (yang sebelumnya saya sebut sebagai film perang bintang ketimbang film tentang Jedi).

Lantas, apakah kali ini Star Wars: The Rise of Skywalker berfokus pada keluarga Skywalker yang notabene dalam film ketiga ini tinggal Ben alias Kylo Ren dan ibunya, Leia Organa?

Jawabannya adalah... Tonton saja sampai habis! Karena adegan yang selaras dengan judul film ini rupanya ada di ending. Nah, bagaimana dengan penyajian film ini sejak awal hingga akhir?

Malas juga sih berpanjang-panjang ria menjelaskan kayak pakar film expert gitu. Saya sih pendek-pendek saja menjabarkannya. Anggap saja Anda sudah menonton Star Wars Episode I sampai VIII ya...

Tapi sebelum itu, ada kabar baik, nih. Star Wars: The Rise of Skywalker adalah film pertama yang saya tonton di aplikasi Disney +Hotstar.

Bahkan, semua film dan serial Star Wars, termasuk serial terbarunya, The Mandalorian, sudah bisa ditonton. Secara legal, lo! Wowww!! Terima kasih Disney Indonesia. :D

Nah, sewaktu menonton Star Wars: The Rise of Skywalker, sebenarnya film ini nyaris mirip dengan The Last Jedi. Namun konflik di sini lebih banyak dan mengejutkan.

Adegan perang bintang pun masih seru saja. Biarpun adegan perkelahiannya masih di bawah rata-rata. Belum ada yang ngalahin koreografinya Episode I-III, sih.

Di sini juga ada apa itu istilahnya, plot twist! Ya, plot twist-nya lumayan masuk akal dan benar-benar enggak terduga pokoknya!

Mulai dari siapa tokoh jahat yang asli sampai siapa jati diri si tokoh utama film ini, benar-benar plot twist abis!

Sedihnya, di film ini kita lagi-lagi akan menyaksikan wafatnya salah satu lakon utama lawas dari Episode IV-VI. Kalau di episode VII dan VIII kita kehilangan Han Solo dan Luke Skywalker, coba tebak kali ini kita kehilangan siapa?

Sebetulnya saya menikmati sih film Episode IX ini. Bisa dibilang, ini bukan film jelek. Wong di Rotten Tomatoes saja, penontonnya membuahkan skor 86 persen biarpun akumulasi dari para kritikus nilainya 51 persen (kebalikan dari The Last Jedi yang dikasih bagus kritikus tapi penontonnya ngasih jelek).

Visual efeknya masih enak dilihat. Dialognya juga enggak cacat-cacat amat. Mungkin yang kurang cuma watak si Ben Skywalker yang terlalu ngejomplang dari film-film sebelumnya.

Si Rey juga tetap keren biarpun akting Daisy Ridley masih tak lebih sangar dari dua film sebelumnya. Tapi ada perkembangan dari John Boyega dan Oscar Isaac waktu mereka adu akting, sih.

Perjalanan galaksi sampai penghancuran planet yang bikin bulu roma naik juga dilihatin lagi.

Intinya, film ini enjoyable banget sih. Skornya 7.5/10 cukup deh untuk ukuran film trilogi pamungkas.

Ada juga Review saya di Rujak Pelem. Klik ya!

Minggu, 17 Desember 2017

Nonton Star Wars: The Last Jedi Berasa Makan Es Krim Campur Sambal Rujak

Property of Disney / LucasFilm

Seumur-umur nonton Star Wars, baru di Star Wars: The Last Jedi saya menemukan campur sari rasa selama mata menatap layar. Saya menganggap film ini bagus dan asyik ditonton dari awal sampai habis. Terlebih lagi, adegan perangnya benar-benar totalitas.

Ledakan di mana-mana, keputusasaan, optimis, kehancuran, kekacauan, sampai harapan yang nggak terduga benar-benar memberi warna luar biasa untuk film kedelapan ini.

Tapi ada rasa aneh dalam film ini seperti ketika kita makan es krim campur sambal rujak di pinggir jalan. Ya, memang dalam balutan efek keren dan suasana yang lebih mencekam campur pengkhianatan yang bertebaran di mana-mana, membuat Star Wars: The Last Jedi terasa keren bak makan es krim.

Begitu kita masuk ke tahap judulnya, The Last Jedi... Oke mari kita fokuskan ke kata "JEDI" saja... Ada kesan pedas yang nggak cuman bikin lidah panas, tapi tenggorokan juga kena getahnya sampai-sampai hampir meriang dibuatnya.

Property of Disney / LucasFilm

Ya, masalah dalam film ini memang ada pada kata Jedi yang jadi judulnya. Bapak sutradara Rian Johnson yang juga penulis skenarionya, terlalu menggampangkan poin penting judulnya, dan malah berasyik masyuk dengan ketegangan serta harapan di perang antara Resistance melawan First Order.

Padahal, penonton dan fans berharap banget bisa mendapat pembongkaran misteri yang bikin bulu kuduk berdiri perihal para Jedi di film ini. Eh, ini malah sibuk main perang-perangan, biarpun iya sih, justru perang bintang (yang justru memang jadi judul waralabanya) di film ini menjadi pilar utama yang membuatnya terlihat luar biasa.

Biarpun begitu, cara-cara Pak Johnson menggambarkan beberapa adegan penting nan menegangkan dan pemecahan masalahnya, harus diakui masih dalam tingkatan jenius. Sampai-sampai, si bapak ini pernah bilang ingin menciptakan trilogi baru Star Wars versinya yang menurut saya sih bakal diambil dari akhir cerita film ini.

Cuma, saya sempat terharu begitu nama mendiang Ibu Carrie Fisher terpampang di kredit film. Semoga Force menyertaimu, bu pemeran Leia Organa.

Rabu, 15 November 2017

Manga One Piece yang Mengalami Penurunan


Image are property of Shueisha and Toei Animation. Characters are created by Eiichiro Oda

Dalam hal menikmati manga atau komik Jepang, dulu saya berniat konsisten hanya mengikuti One Piece dan Vagabond. Naruto, Bleach, Fairy Tail, dsb saya lewatin. Tapi sejak Vagabond hiatus lama banget, ditambah ingin mencari variasi bacaan manga selain One Piece tapi manga-manga lain tersebut sudah kelewatan banyak chapter, saya pun iseng baca beberapa manga yang baru terbit seperti Vinland Saga dan Silver Spoon yang dapat penghargaan Kodansha / Shogakukan.

Dulu suka banget sama Masked Rider Spirits, Evangelion, Fullmetal Alchemist, Gash Bell dan tentu saja 20th Century Boys. Seiring berjalannya waktu, saya sempat melewatkan beberapa saga One Piece, terutama sejak Caesar dan Dressrosa.

Semakin bertambahnya waktu lagi, saya mulai menambah asupan lain seperti anime-anime, manga-manga dan film-film peraih penghargaan. Ditambah, ada juga Marvel Cinematic Universe yang out of box banget. Perkembangan lingkungan dan isu-isu nasional serta internasional juga menambah bobot pola pikir saya.

Lalu belakangan, saya membaca kembali One Piece di saga Big Mom. Entah karena saya kebanyakan nonton film atau baca manga yang bobotnya berat, saya merasa chapter-chapter terbaru One Piece terkesan sangat ringan. Sensasi manly tears moment dan friendly foe moment sudah nggak terasa geregetnya.

Konspirasi yang disajikan dalam cerita ini pun semakin datar dan terlalu mudah diterka. Kalaupun tak terduga, tak ada satupun yang bisa bikin saya merinding seperti dahulu kala. Dan ya, menurut saya itu adalah indikator menurunnya kualitas cerita One Piece.